Menciptakan Ketidaksetaraan: Kerancuan Memaknai Kapitalisme

Oleh Emmanuel Martin, Layanan Intelijen Global

Thomas Piketty menangkap sesuatu yang penting dalam suasana pasca-Lehman dengan studinya tentang perbedaan pendapatan dan kekayaan di negara maju. Sangat disayangkan bahwa rekomendasi-rekomendasi kebijakannya salah arah, sebagian karena di dalam analisis-analisisnya, ia gagal memahami esensi yang mendasari ketidaksetaraan (ketidaksamarataan) yang paling buruk

Selama periode-periode krisis ekonomi dan pertumbuhan yang lambat, kekhawatiran tentang ketidaksetaraan yang penampilannya samar dan sering dibesar-besarkan lebih besar daripada saat kemakmuran. Ini benar setelah keruntuhan keuangan tahun 2008, ketika gerakan-gerakan seperti Occupy Wall Street dimobilisasi untuk melawan apa yang disebut 1 persen yang dituduh telah merampas 99 persen masyarakat lainnya.

Keasyikan pasca-krisis dengan ketidaksetaraan telah menemukan ekspresi analitiknya yang paling jelas dalam karya ekonom Prancis Thomas Piketty. Ketika terjemahan bahasa Inggris-nya “Capital in the Twenty-First Century” (Modal di Abad Kedua Puluh Satu) diterbitkan pada tahun 2014, buku tebal akademis yang berbobot menerima hampir perlakuan hormat dari banyak pembaca (biasanya sayap kiri), tetapi juga sangat cepat menimbulkan perdebatan profesional yang bernafsu.

Pada satu tingkat, pekerjaan itu hampir sempurna selaras dengan kepekaan era pasca-krisis, ketika Oxfam, badan amal pembangunan yang berbasis di Inggris, dapat mengejutkan publik dengan laporan kemiskinan dunia yang mengklaim bahwa 62 miliarder menguasai kekayaan sebanyak 3,6 miliar anggota umat manusia termiskin. Piketty bahkan telah menjadi bagian yang penting dalam pemilihan presiden Amerika Serikat ketika ia mendukung Senator Bernie Sanders, pesaing untuk nominasi Demokrat.

Karena buku Piketty merangkum begitu banyak ide dan kebijakan di balik “perjuangan melawan ketidaksetaraan,” kritik-kritik profesional untuk argumen-argumennya memerlukan analisis yang penuh perhatian dan menyeluruh. Mereka mengungkapkan banyak hal yang menyesatkan atau salah dalam pemikiran saat ini tentang masalah tersebut, bersama dengan aspek-aspek yang lebih berbahaya tentang ketidaksetaraan yang tidak dipikirkan.

Modal Memainkan Tenaga Kerja

Ide sentral dari “Modal di Abad Kedua Puluh Satu” adalah bahwa kapitalisme secara alami menghasilkan lingkaran setan ketidaksetaraan. Karena pendapatan modal tumbuh lebih cepat daripada ekonomi (dan sejauh ini upah), orang kaya hanya bisa menjadi lebih kaya.

Penulis tersebut memperingatkan bahwa ketidaksetaraan di dalam pendapatan-pendapatan maupun kekayaan keduanya kembali ke tingkat-tingkat yang tidak terlihat sejak Zaman Gilded pada akhir abad ke-19. Tren ketidaksetaraan yang digambarkan oleh Piketty memiliki “bentuk U”, tertekan dari tahun 1930-an hingga 1970-an oleh efek dari dua perang dunia, Depresi Besar, dan kebijakan-kebijakan pajak “progresif” yang menyeimbangkan pendapatan dan kekayaan. Deregulasi dan adopsi tentang kebijakan-kebijakan lebih banyak ke pasar bebas pada 1980-an kemudian membuat ketidaksetaraan kembali meningkat, menurut argumennya.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat pada abad ke-21 telah membawa masalah ke puncak dengan meningkatnya perbedaan antara tingkat pertumbuhan pendapatan modal (“r”) dan ekonomi (“g”). Ketika “ketidaksetaraan fundamental” Piketty untuk r> g menyimpang lebih cepat, solusi kebijakan utamanya adalah menerapkan lebih banyak pajak pada orang kaya, misalnya, 80 persen tingkat marjinal atas atas penghasilan dan pajak kekayaan global untuk mencegah tindakan menghindar dan “optimalisasi.”

‘No Zero Sum

Benang merah analisis Oxfam atau Piketty adalah pandangan tentang ekonomi sebagai permainan zero-sum (keuntungan diimbangin dengan kerugian yang sama) di mana satu keuntungan milik seseorang adalah satu kerugian untuk orang lain, yang mengingatkan pada perjuangan kelas Marxis. Dalam ekonomi “fixed-pie” seperti itu, mobilitas sosial sangat minim. Orang kaya adalah orang yang hidup dengan mengandalkan pendapatan dari properti atau investasi, yang secara otomatis mengumpulkan keuntungan dari modal, atau manajer-manajer super yang menyedot uang dari para pemegang saham. Orang miskin tidak dapat mengumpulkan modal dan memang seharusnya tidak, karena dalam kasus mereka, investasi terlalu berisiko.

Di dunia nyata, semuanya sangat berbeda. Ekonomi bukanlah kue tetap yang tidak berubah (fixed-pie). Mobilitas ada di kedua arah, yang berarti orang kaya bisa bangkrut. Akumulasi modal jauh dari otomatis dan biasanya membutuhkan beberapa bakat (talenta). Orang kaya bukan hanya ahli waris kekayaan besar tetapi, sering dan lebih sering, pengusaha sukses dan manajer yang menciptakan nilai bagi perusahaan-perusahaan mereka, pelanggan-pelanggan mereka, dan masyarakat. Penghancuran kreativitas berarti bahwa para pemimpin industri harus terus-menerus membuat ulang yang baru atau binasa, seperti Kodak dan Borders.

Orang kaya baru muncul dengan perluasan peluang ekonomi. Kenyataannya, orang miskin mengumpulkan modal dan keluar dari kemiskinan, sebagaimana teori dasar untuk pegangan ekonomi pembangunan; semua negara berkembang yang sukses mengikuti jalan ini. Banyak orang miskin di dunia tidak pernah menjadi lebih baik, seperti yang ditunjukkan oleh konvergensi (pemusatan) dramatis dari harapan hidup dan akses ke barang-barang konsumsi, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Semua bukti menunjukkan penurunan ketidaksetaraan di tingkat global, dikombinasikan dengan peningkatan mobilitas sosial dan “kue” ekonomi yang lebih besar.

Asumsi-asumsi teoritis yang diperlukan untuk membuat model Piketty tentang usaha divergensi kumulatif telah dikecam keras oleh para ekonom seperti Matthew Rognlie dan Nassim Taleb. Peneliti lain telah menunjukkan kemustahilan dari proses kumulatif yang dia jelaskan, yang secara logis akan mengarah pada penyitaan 1 persen semua kekayaan yang tersedia dalam waktu kurang dari satu generasi.

Masalah Dengan Statistik

Bahkan seperti “Modal di Abad Kedua Puluh Satu” yang telah memenangkan pujian karena ruang lingkup empirisnya, banyak peneliti yang mempermasalahkan peralatan statistiknya. Piketty sangat bergantung pada statistik-statistik historis untuk membuat argumennya berhasil. Dan karena siapapun yang berurusan dengan ekonomi dan statistik tahu, ada angka untuk setiap argumen.

Misalnya, angka yang diambil dari formulir Layanan Pendapatan Internal (Internal Revenue Service) tidak berarti kecuali jika memperhitungkan evolusi sistem pajak AS. Perubahan dalam undang-undang perpajakan selama tahun 1980-an memiliki dampak besar pada pelaporan pendapatan. Tarif pajak penghasilan marjinal yang lebih rendah berarti perusahaan dapat membayar lebih banyak upah dan lebih sedikit dalam bentuk kompensasi lain. Para pembayar pajak yang makmur cenderung melaporkan pendapatan pada formulir-formulir IRS individual mereka daripada menyimpannya di perusahaan-perusahaan tujuan khusus yang menikmati tarif pajak yang lebih rendah. Demikian pula, pajak yang lebih rendah atas pendapatan dividen mendorong investor untuk berinvestasi dalam aset berisiko tinggi dan hasil lebih tinggi. Untuk melihat pendapatan melalui data pajak adalah ilusi mata yang menyesatkan.

Keputusan-keputusan Piketty lainnya yang dipertanyakan adalah memasukkan aset perumahan dalam “kekayaan” (mengabaikan distorsi yang diciptakan oleh kebijakan-kebijakan perkotaan yang menimbulkan kelangkaan), menghilangkan redistribusi-redistribusi dan manfaat-manfaat publik lainnya dari pendapatan masyarakat miskin, menggunakan deflator yang tidak tepat untuk menjelaskan evolusi harga dan pendapatan riil, dan mengabaikan perubahan dalam struktur dan ukuran rumah tangga. Masing-masing dari “pemilihan pilihan” ini telah terbukti bias hasil studi tersebut. Jika dikoreksi, kenaikan kumulatif dalam pendapatan rumah tangga rata-rata AS akan berjumlah 36 persen antara 1979 dan 2007, bukan 3 persen, seperti pernyataan-pernyataan ekonom Prancis tersebut.

Para ekonom lainnya mengkritik metodologi yang tidak konsisten yang digunakan untuk membantu membuat kurva ketidaksetaraan Piketty “melekat” pada pola bentuk huruf U-nya, bersama dengan pencantumannya tentang dunia komunis dalam sebuah analisis dugaan tanpa bukti yang ditujukan untuk kapitalisme. Yang paling bermasalah dari semuanya mungkin adalah kegagalan untuk melakukan tes ekonometri apapun dari teori r> g; peneliti-peniliti lainnya yang menggunakan berbagai set data belum dapat memverifikasi keakuratannya.

Ketidaksetaraan di Dalam Prosedur

Kesimpulan-kesimpulan apapun, apalagi rekomendasi kebijakan berdasarkan data yang tidak dapat diandalkan tersebut harus diperlakukan dengan sangat hati-hati. Kebijakan-kebijakan pajak radikal, termasuk pajak global untuk memerangi ketidaksetaraan, pasti akan menghancurkan insentif untuk menciptakan kekayaan dan dengan demikian meningkatkan kemiskinan. Memotong semua pohon untuk membuatnya sama, dan lebih pendek.

Namun ini bukan untuk mengatakan bahwa ketidaksetaraan tidak menjadi masalah bagi pembangunan ekonomi.

Dalam kenyataan, ada kategori tentang ketidaksetaraan yang secara serius menghalangi penciptaan kekayaan dan pengurangan kemiskinan. Anehnya, jarang diberikan perhatian oleh para pendukung keadilan sosial. Fokus mereka yang hampir secara khusus tentang ketidaksetaraan dalam hasil akhir (kekayaan dan penghasilan) menyebabkan mereka mengabaikan pentingnya ketidaksetaraan dalam prosedur-prosedur, aturan-aturam ekonomi dan sosial yang mendukung kelompok-kelompok atau profesi tertentu di atas yang lainnya. Dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, bentuk dari ketidaksetaraan ini jauh lebih merusak daripada perbedaan dalam kekayaan atau penghasilan.

Mempengaruhi kekuatan politik untuk keuntungan ekonomi adalah contoh yang paling mengakar dari ketidaksetaraan tersebut. Dapat berupa lobbyisme (upaya mempengaruhi) yang memungkinkan perlakuan istimewa terhadap perusahaan-perusahaan besar. Ini adalah bentuk “korporatisme” yang melindungi pemain-pemain besar dari kompetisi oleh perusahaan-perusahaan baru yang lebih kecil melalui regulasi.

Contoh-contoh terbaru termasuk protes-protes keras dari pengemudi taksi berlisensi terhadap Uber dan hak-hak istimewa yang dinikmati oleh karyawan publik dibanding rekan-rekan mereka di sektor swasta di Yunani dan Perancis. Terlalu mudah bagi para politisi untuk melindungi pendapatan dan status untuk kelompok-kelompok yang diorganisir dengan baik dengan membelanjakan uang para pembayar pajak.

Kolusi semacam itu melemahkan aturan hukum dan melembagakan ketidaksetaraan. Membelokkan insentif-insentif untuk orang-orang dalam (dengan membantu berkembangnya pencarian uang pungutan) dan bagi orang-orang luar (dengan meremehkan upaya jujur). Ketidaksetaraan yang bersumber dari proses dan bukan hasil secara fundamental mencurangi aturan-aturan permainan. Di beberapa negara, kolusi institusional telah menjadi begitu meresap sehingga fungsi utama perekonomian adalah untuk mengekstrak kekayaan untuk kepentingan segelintir orang.

Kadang-kadang hak-hak istimewa ini bisa jauh lebih halus. Di negara Piketty sendiri di Perancis, memberi bantuan kepada “juara nasional” seperti Minitel atau Bull hampir menjadi bagian dari DNA. Ini jarang bekerja untuk kepentingan ekonomi Perancis.

Ketidaksetaraan prosedural diilustrasikan oleh “hak-hak istimewa sosial” yang dinikmati oleh kasta dari pegawai-pegawai negeri dan para karyawan di perusahaan-perusahaan milik negara, bersama dengan anggota “profesi tertutup” seperti notaris. Mungkin pelanggar-pelanggar terburuk adalah para pejabat publik yang dipilih, yang sangat menginginkan faslitas dari tunjangan pegawai telah memicu reaksi kerakyatan terhadap pembentukan politik.

Krisis keuangan dan perkembangan terkini dalam ekonomi global (terutama kebangkitan industri energi terbarukan bersubsidi negara) telah menciptakan peluang baru bagi kronisme (pengangkatan teman dan rekan untuk posisi otoritas, tanpa memperhatikan kualifikasi mereka). Di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan besar makanan dan obat-obatan dituduh mengendalikan peraturan tentang Administrasi Makanan dan Obat-obatan (FDA) dan Securities and Exchange Commission (SEC) menjadi berada di dompet-dompet di bank-bank.

Ketidaksetaraan prosedural seperti itu dapat menghambat persaingan dan inovasi dengan mengesampingkan perusahaan-perusahaan kecil. Dan semua ini terjadi dengan stempel persetujuan pemerintah.

Kronisme Keuangan

Bahkan, sistem keuangan mungkin yang paling diganggu oleh kolusi antara bank dan negara. Untuk sebagian besar, bank sentral telah menggunakan kebijakan-kebijakan moneter yang tidak konvensional untuk menghapuskan tingkat bunga normal atau tanpa risiko dengan menekan suku bunga. Hasilnya adalah “deformasi besar,” perubahan bentuk (distorsi), terhadap kapitalisme yang menyesatkan investasi ke dalam ekonomi gelembung dan menghambat tabungan-tabungan di tengah sikap umum dari short termisme (kecenderungan untuk memusatkan perhatian pada keuntungan jangka pendek, seringkali dengan mengorbankan keberhasilan atau stabilitas jangka panjang.

Kolusi antara otoritas-otoritas perbankan sentral, bank-bank besar, dan para politisi sangat mengganggu. Ini merusak alokasi dasar modal dan tenaga kerja dalam masyarakat modern dengan membuat bank-bank yang tidak bertanggung jawab “terlalu besar untuk gagal” dan melindungi pemerintah-pemerintah yang tidak bertanggung jawab dari pertanggungjawaban dan kegagalan memenuhi kewajiban.

Dalam pengertian ini, para demonstran Occupy Wall Street adalah benar, kalau saja mereka telah melihat lebih jauh para “bankster” yang tamak. Efek yang tidak dapat diragukan tentang kronisme dalam hubungan keuangan/moneter adalah memperluas kesenjangan antara kaya dan miskin.

Pasar-pasar keuangan pada steroid moneter memungkinkan para investor untuk mengalikan kekayaan mereka secara semu, sementara yang kurang beruntung harus puas dengan nol bunga pada tabungan mereka. Anehnya, para pejuang ketidaksetaraan cenderung memuji kebijakan moneter seperti itu dan ingin lebih banyak keterlibatan negara dalam keuangan ketika pemerintah harus disalahkan karena melindungi bank-bank tersebut dan mendistorsi pasar-pasar modal.

Perdebatan kebijakan saat ini sebagian besar mengabaikan perbedaan krusial antara ketidaksetaraan hasil dengan proses perkembangannya. Sebaliknya, di negara-negara seperti Perancis, orang-orang hanya ingin membagikan secara adil hak-hak istimewa mereka. Presiden Emmanuel Macron adalah salah satu politisi langka yang bersedia menangani masalah profesi-profesi tertutup tersebut, namun usaha-usahanya dilumpuhkan oleh sikap pendirian yang secara praktis memuja status, dimana tak lain hanya ketidaksetaraan prosedural yang dilembagakan, menjadi adat-istiadat.

Orang dengan pola pikir status-quo ini cenderung menyalahkan masalah-masalah mereka pada “kapitalisme pasar” daripada “kapitalisme kroni.” Bukannya melakukan keterbukaan dan transparansi, malahan mereka menginginkan perlindungan yang lebih besar. (ran)

Emmanuel Martin adalah manajer proyek pendidikan Prancis “École de la liberté.” Martin meraih gelar doktor bidang ekonomi dari Universitas Aix-en-Provence di Perancis. Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh Laporan GIS Online.

ErabaruNews