Tiongkok Terlalu Membebani Negara-negara Miskin dengan Utang

JOHANNESBURG – Tiongkok sedang membebani negara-negara miskin dengan utang tidak berkelanjutan melalui proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang tidak layak secara ekonomi, kata kepala Badan Investasi Swasta Luar Negeri AS, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) pada 16 Juli.

Kritik terhadap Beijing tersebut muncul ketika Washington berusaha meningkatkan pendanaan pembangunan dalam menghadapi ambisi global Tiongkok.

Diresmikan pada tahun 2013, One Belt, One Road, inisiatif pemimpin Tiongkok Xi Jinping yang bertujuan untuk membangun jaringan infrastruktur yang menghubungkan Tiongkok melalui darat dan laut ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.

Tiongkok telah menjanjikan $126 miliar untuk rencana tersebut, dimana para pengamat lihat sebagai upaya rezim Tiongkok untuk memperluas pengaruh geopolitiknya melalui investasi-investasi asing.

Dalam wawancara dengan Reuters di Johannesburg, CEO OPIC, Ray Washburne memperingatkan bahwa strategi Tiongkok tersebut telah menciptakan jebakan utang bagi banyak negara miskin.

“Lihat saja proyek apapun di negara-negara ini dan mereka membuat ukurannya terlalu besar,” katanya. “Kita mencoba membuat negara-negara menyadari bahwa mereka menikam diri mereka sendiri dengan Tiongkok.”

Washburne bukan yang pertama memperingatkan meningkatnya utang terkait proyek-proyek infrastruktur Tiongkok.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde pada bulan April memperingatkan mitra-mitra Sabuk dan Jalan (One Belt,One Road) Tiongkok agar tidak mempertimbangkan pembiayaan tersebut sebagai “makan siang gratis.”

Dan pada bulan Maret, sebuah laporan oleh lembaga think tank Pusat Pembangunan Global (Center for Global Development), yang berbasis di AS, menganalisis risiko kesulitan utang di antara 68 negara yang berpartisipasi dalam inisiatif Sabuk dan Jalan tersebut dan menyimpulkan bahwa mayoritas berisiko bangkrut akibat gagal bayar pada proyek-proyek Sabuk dan Jalan tersebut.

Pada bulan Desember tahun lalu, Sri Lanka secara resmi menyerahkan kegiatan-kegiatan komersial di pelabuhan utamanya di selatan yang terletak di Hambantota pada sebuah perusahaan Tiongkok, sebagai bagian dari rencana untuk mengubah pinjaman sebesar $6 miliar yang Sri Lanka telah utang ke Tiongkok menjadi ekuitas, kepemilikan nilai properti yang digadaikan.

Para pejabat AS telah memperingatkan bahwa sebuah pelabuhan strategis di wilayah kecil Tanduk Afrika, negara Djibouti, bisa menjadi yang berikutnya, sebuah prospek yang telah ditolak pemerintahan tersebut.

Washburne juga menyuarakan keprihatinan atas perluasan bandara senilai $360 juta di ibukota Zambia, Lusaka, saat ini sedang dilakukan dengan pembiayaan dari Exim Bank of Tiongkok.

“Ekonomi lokal tidak diuntungkan dari itu. Itu adalah bandara yang terlalu besar. Mereka akan memiliki terlalu banyak utang. Pada titik tertentu, seseorang harus membayar. Membayar atau Tiongkok yang akan mengambil kendali,” katanya.

OPIC bulan ini meluncurkan prakarsa yang berfokus pada Afrika yang akan mengalokasikan lebih dari $1 miliar selama tiga tahun ke depan untuk proyek-proyek yang mendukung teknologi transportasi, informasi dan komunikasi, serta rantai nilai (value chain). (ran)

ErabaruNews