Tiongkok Berusaha Mengecilkan Ambisi Saat Menjalin Hubungan Ekonomi dengan Afrika

Pemimpin Tiongkok Xi Jinping berusaha mengecilkan ambisi-ambisi geopolitik Tiongkok di Afrika selama forum kerjasama di Beijing, dengan menekankan bahwa Tiongkok tidak “campur tangan dalam politik internal negara-negara Afrika,” “tidak akan menyertakan kondisi politik apapun untuk membantu Afrika,” dan “tidak akan menggunakan investasi dan pembiayaan di Afrika untuk mencari keuntungan politik.”

Namun Tiongkok tidak sungkan-sungkan dengan keinginannya untuk menjalin hubungan ekonomi dengan Afrika. Xi menjanjikan US$60 miliar kepada negara-negara Afrika pada pembukaan forum dua hari pada 3 September, menjanjikan bahwa utang pemerintah dari pinjaman tanpa bunga Tiongkok yang jatuh tempo pada akhir tahun akan dihapuskan bagi negara-negara Afrika yang paling miskin.

Utang $60 miliar tersebut akan mencakup $15 miliar bantuan, pinjaman bebas bunga, dan pinjaman lunak; garis kredit $20 miliar; dana khusus $10 miliar untuk pembangunan Tiongkok-Afrika; dan dana khusus $5 miliar untuk impor-impor dari Afrika.

Sisanya $10 miliar akan datang dalam bentuk investasi oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok di Afrika selama tiga tahun ke depan, kata Xi.

Pada hari kedua forum, yang dihadiri oleh 53 kepala negara dari benua tersebut, utusan khusus Beijing untuk Afrika, Xu Jinghu, melakukan upaya lain untuk mendorong balik terhadap kritik tentang hubungan-hubungan Tiongkok dengan Afrika, mengklaim bahwa Tiongkok sedang membantu Afrika berkembang, dan bukan menumpuk utang.

Upaya meyakinkan yang dilakukan rezim Tiongkok tersebut bertolak belakang dengan tajuk berita dan kekhawatiran para pengamat tentang investasi Tiongkok di benua tersebut sejauh ini.

Minat Tiongkok di Afrika

Sebagai contoh, Burkina Faso mengumumkan pada Maret bahwa mereka akan memutuskan hubungan dengan Taiwan, setelah Beijing menekan negara Afrika untuk mengakui “satu Tiongkok.”

Partai Komunis Tiongkok menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan berusaha menghalangi ruang internasional apa pun untuk Taiwan, dengan meyakinkan negara-negara lain untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan negara tersebut.

Helmut Asche, seorang profesor studi Afrika di Johannes Gutenberg University Mainz di Jerman mengatakan kepada Apple Daily, sebuah surat kabar Hong Kong, bahwa dorongan Beijing bagi negara-negara untuk mengadopsi kebijakan “satu Tiongkok” adalah contoh utama dari apa yang disebut “kondisi politik” yang telah Xi sebutkan. Dia juga mencatat bahwa segera setelah pemimpin baru Zimbabwe Emmerson Mnangagwa berkuasa, dia mengunjungi Tiongkok, menunjukkan pengaruh Beijing atas urusan politik di sana.

Investasi Tiongkok di Afrika juga sering dihubungkan dengan tujuan pembangunan ekonomi Beijing. Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah menuangkan bantuan keuangan ke Kongo untuk mengamankan hak penambangan untuk deposit lithium dan kobalt di sana, bahan utama untuk membuat baterai mobil listrik. Kendaraan listrik termasuk di antara 10 sektor teknologi yang ditetapkan Beijing sebagai prioritas untuk pembangunan, sebagaimana digariskan dalam agenda “Made in China 2025”, sebuah rencana bagi Tiongkok untuk menjadi raksasa manufaktur berteknologi tinggi.

Dan One Belt, One Road (OBOR), prakarsa ambisius Tiongkok untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Asia, Afrika, dan Eropa, telah mendapat sorotan karena membebani negara-negara miskin dengan utang.

Djibouti, misalnya, situs satu-satunya pangkalan militer Tiongkok di luar negeri, berutang hampir 82 persen utang luar negerinya ke Tiongkok, menurut laporan tentang risiko utang di negara-negara peserta OBOR oleh think tank (lembaga riset) Center for Global Development yang bermarkas di AS.

“Karena pasar-pasar Barat lebih sulit untuk ditembus, pengembangan basis konsumen untuk produsen-produsen Tiongkok di pasar berkembang sangat tinggi dalam agenda Beijing,” tulis artikel Maret 2016 di The Africa Report, sebuah majalah berita bulanan. Menyebutkan contoh tentang Xiaomi, yang menunjuk distributor lokal, Mobile in Africa Limited, untuk menjual ponsel-ponselnya ke 50 negara di sub Sahara Afrika.

Lebih Banyak Investasi

Tentu saja, ada bukti bahwa Beijing mengalihkan sebagian besar fokus perdagangannya ke Afrika, karena perang perdagangan yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat telah mengancam ekonomi Tiongkok.

Pada sebuah forum publik di Beijing yang diadakan pada bulan Agustus, mantan wakil menteri perdagangan Tiongkok Wei Jianguo, yang sekarang wakil ketua sebuah think tank yang berafiliasi dengan pemerintah pusat, mengatakan bahwa penjualan tahunan Tiongkok ke Afrika dapat melebihi $500 miliar dalam lima tahun ke depan, menjadikan benua tersebut pasar yang lebih besar bagi para eksportir Tiongkok daripada Amerika Serikat.

Volume perdagangan dengan Afrika telah melampaui $300 miliar, menurut China Center for International Economic Exchanges, lembaga think tank yang mempekerjakan Wei.

Sementara itu, beberapa netizen menyatakan ketidaksenangan atas keinginan Beijing untuk menggelontorkan uang ke luar negeri sementara rakyatnya sendiri menderita beberapa bencana alam baru-baru ini dan masalah-masalah domestik lainnya. (ran)