Rezim Tiongkok Intensifkan Penghancuran Gereja di Provinsi Henan

Beijing telah mengintensifkan penindasannya terhadap kelompok-kelompok agama, terutama di Provinsi Henan Tiongkok tengah, di mana pihak berwenang terus-menerus meruntuhkan salib-salib Kristen.

Rezim Tiongkok telah merobohkan sekitar 7.000 salib dari gereja-gereja di seluruh Henan baru-baru ini, menurut Jonathan Liu, seorang pendeta dan pendiri Chinese Christian Fellowship of Righteousness yang berbasis di San Francisco, dalam wawancara 10 September dengan stasiun radio internasional Taiwan, Radio Taiwan International ( RTI). Liu mengatakan seorang pendeta untuk Gereja Tiga Mandiri (Three-Self Church) yang terletak di Henan mengatakan kepadanya jumlah salib tersebut ketika keduanya berkomunikasi melalui aplikasi pesan sosial WeChat yang populer di Tiongkok.

Gereja Tiga Mandiri, sebuah gereja Protestan, adalah salah satu dari beberapa mimbar yang telah menerima persetujuan resmi dari pihak berwenang Tiongkok, karena hukum Tiongkok menetapkan bahwa penganut agama hanya bisa beribadah di gereja-gereja yang direstui pemerintah. Namun, jutaan orang Tionghoa menentang pembatasan semacam itu untuk menghadiri mimbar di dalam apa yang disebut gereja bawah tanah atau gereja rumah.

Liu menambahkan bahwa penghancuran salib-salib di Henan telah menargetkan gereja-gereja rumah maupun yang telah disetujui pemerintah.

Mengenai mengapa Henan dijadikan sasaran oleh rezim Tiongkok, Liu menjelaskan bahwa Henan adalah tempat penting bagi agama Kristen Tiongkok karena dijuluki Galilea di Tiongkok, sebuah acuan tentang situs tempat Yesus dikatakan berjalan di atas air. Di beberapa desa di Henan, lebih dari 95 persen penduduk lokal adalah orang Kristen, kata Liu.

“Meskipun [otoritas Tiongkok] tidak pernah secara terbuka mengakui hal ini, alasan di balik [penindasan Henan] adalah bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) ingin mengamankan pemerintahannya di daerah tersebut,” kata Liu.

Perobohan salib-salib gereja secara massal di Henan mirip dengan apa yang terjadi di Provinsi Zhejiang Tiongkok timur pada tahun 2016, menurut Liu. Saat itu, salib di lebih dari 1.700 gereja telah dirobohkan oleh otoritas Tiongkok.

Mereka juga menargetkan Wenzhou, sebuah kota di Zhejiang yang dikenal karena sejumlah besar gereja dan umat Kristen menjalankan kebaktian, kata Liu. Itu adalah salah satu daerah pertama di Tiongkok yang dikunjungi oleh misionaris asing selama tahun 1800-an.

Pada 10 September, rezim Tiongkok memperkuat kontrolnya terhadap kelompok-kelompok agama di Tiongkok dengan rancangan pedoman baru. Menurut suratkabar Tiongkok yang dikelola pemerintah Global Times, pedoman tersebut mengharuskan semua organisasi yang terlibat dalam penyebaran informasi keagamaan secara online harus mengajukan permohonan lisensi dari departemen urusan agama provinsi.

Panduan baru ini juga secara khusus melarang layanan keagamaan online membangkitkan subversi, sebuah tuduhan penangkapan semua hal apa pun yang tidak disetujui PKT, seperti menentang kepemimpinan Partai.

Penindasan terhadap orang-orang Kristen baru-baru ini tidak terbatas pada Henan. Di Beijing, gereja Zion, gereja rumah terbesar di ibu kota, telah ditutup oleh pemerintah setempat pada 9 September, setelah menyatakan perkumpulan-perkumpulan di gereja tersebut ilegal.

Menurut laporan 8 September oleh Asosiasi untuk Pembelaan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama (Association for the Defense of Human Rights and Religious Freedom), nonprofit independen, pelarangan terhadap gereja juga terjadi di Provinsi Guangdong di Tiongkok selatan dan di Provinsi Heilongjiang di utara.

Liu mengatakan kepada RTI bahwa agama Kristen telah menjadi sangat berbeda di bawah PKT, karena inti agama telah menjadi mematuhi doktrin Partai. Orang-orang Kristen harus patuh di bawah kepemimpinan rezim tersebut, katanya.

Misalnya, selama kebaktian gereja, jemaat diminta untuk menyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok atau lagu lain yang memuji Partai, dan para pendeta diharuskan membacakan serangkaian peraturan Partai tentang “urusan agama” sebelum memberikan khotbah.

Pada akhirnya, rezim Tiongkok mengubah umat Kristen lokal menjadi umat “Pink Christian (Kristen Merah Muda),” kata Liu. Warna merah muda di Tiongkok memiliki makna pokok [simpatisan komunis] tentang menjadi sangat patriotik terhadap PKT, sebuah permainan tentang pentingnya warna merah dalam melambangkan komunisme. Istilah “Little Pink,” atau “Xiaofenhong” dalam bahasa Tiongkok, misalnya, berarti pemuda Tiongkok yang merupakan troll (pembuat posting provokatif) nasionalis di internet yang membela Partai terhadap kritik apa pun. (ran)

Rekomendasi video: