Pilpres 2019, Proyek OBOR Tiongkok Jadi Fokus Kritik

Su Jinghao

Pada 17 April 2019 mendatang Pilpres akan digelar, program investasi OBOR Tiongkok menjadi fokus kritik dalam kampanye pilpres kali ini. Bloomberg News pada 31 Maret 2019 memberitakan bahwa Indonesia mungkin akan menjadi negara Asia berikutnya yang meninggalkan Beijing dalam pilpres kali ini.

Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang awalnya diperkirakan menelan biaya USD 5,5 milyar namun kemudian membengkak menjadi USD 6 milyar (Rp 85,35 triliun), adalah salah satu proyek indikatif dalam program OBOR atau One Belt One Road di Indonesia.

Namun demikian, proyek ini berulang kali mengalami banyak kendala setelah ditandatangani pada 2015 silam, dan hingga sekarang pun belum mengalami perkembangan berarti.

Blomberg News melaporkan lantaran investasi Tiongkok yang tidak transparan, bahkan berapa banyak keuntungan dari proyek ini yang bisa diperoleh pihak Indonesia juga tidak diketahui.

Maka dalam pilpres kali ini, proyek ini pun menjadi topik bagi pesaingnya dalam mengkritik Jokowi. Meski demikian, Jokowi juga tidak menitikberatkan soal hubungan ekonomi dengan pihak Tiongkok dalam kampanye.

Modal Tiongkok Tidak Terbuka dan Tidak Transparan

Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia Thomas Lembong pada awal Maret lalu menyatakan kepada Bloomberg bahwa proyek KA cepat Indonesia mencuatkan segala permasalahan dalam program OBOR Komunis Tiongkok.

“Proyek ini tidak terbuka dan tidak transparan, bahkan anggota kabinet kami pun tidak bisa mendapatkan data dan informasi yang jelas,” kata Lembong.

Proyek ini terjebak dalam kesulitan besar, dan pihaknya sangat menyayangkan tentang kurangnya informasi finansial proyek dan kurangnya uji tuntas.

Proyek ini juga menjadi topik yang dikritik oleh saingan Jokowi yakni Prabowo Subianto.

Prabowo menyatakan, investasi Tiongkok harus memberikan manfaat bagi Indonesia. Ia juga menyatakan berniat mengaudit proyek KA cepat itu, dan menandatangani ulang kesepakatan perdagangan yang lebih adil dengan pihak Tiongkok.

Sejak Jokowi berkuasa, defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok melonjak hingga mencapai USD 18,4 milyar (261,8 triliun Rupiah) atau naik 40% dibandingkan tahun 2014.

Seorang peneliti dari International Strategy Institute di Singapura, Aaron Connelly mengatakan Jokowi dinilai sangat berhati-hati jika menyinggung hal terkait Tiongkok.

“Dalam kebanyakan situasi, Jokowi selalu berhati-hati untuk tidak mengkritik Tiongkok,” katanya.

BACA JUGA : Menimbang Proyek OBOR Tiongkok di Indonesia, Mengundang Jebakan Petaka Utang atau Apa?

Sementara itu,  ekonom Faisal Basri menuturkan sebenarnya kini sudah bisa terlihat secara terang benderang catatan buruk proyek OBOR di berbagai negara seperti pembatalan di Malaysia. Apalagi secara hakiki peluncuran proyek OBOR tersebut ke seluruh dunia sejatinya hanya untuk kepentingan Tiongkok semata.

Menurut Ekonom UI ini, proyek OBOR intinya adalah Tiongkok sebenarnya memberikan bantuan kepada Tiongkok sendiri.  Faisal mengatakan ketika Tiongkok kelebihan pasokan semen dan baja, maka harus ada wadahnya sehingga Tiongkok menciptakan proyek-proyek yang membutuhkan semen dan baja mereka.

Apalagi, kata ekonom INDEF ini, adanya peningkatan gelombang pengangguran di Tingkok, sehingga pada akhirnya Tiongkok menempuh langkah dengan membuat proyek-proyek di luar negeri yang mana nantinya menyedot pekerja dan bahan-bahan proyek dari mereka.

Ketika pendanaan dari proyek OBOR ingin direalisasikan di Indonesia, Faisal Basri mengajak semuanya bersama-sama memikirkan dampak yang akan terjadi serta konsekuensinya. Dampak yang perlu dipikirkan seperti terhadap PT Krakatau Steel. Apalagi pada kenyataannya realisasi proyek OBOR tersebut nantinya akan membeli semen kepada tiga pabrik semen buatan Tiongkok dengan harga yang lebih mahal.

Lebih jauh Faisal Basri membandingkan dengan realisasi pendanaan proyek yang dibiayai oleh Jepang seperti terkait MRT di Jakarta. Jika dilihat dari proyek pendanaan berasal dari Tiongkok, secara keseluruhan Tiongkok selalu ingin mendominasi mulai dari pekerja, semen, teknologi, besi dan segala macam.

Proyek KA Cepat Tak Berkembang, Tuai Kecaman Warga

Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung adalah proyek yang dilaksanakan oleh perusahaan Tiongkok yakni China Railway, dan bekerjasama dengan sebuah perusahaan konstruksi BUMN milik Indonesia yakni WIKA.

Pada bulan Oktober 2015 silam telah ditandatangani kesepakatan perusahaan patungan tersebut. Proyek itu ditargetkan akan dimulai di bulan November 2015, dan rampung pada akhir tahun 2018, namun masalah pembebasan lahan dan lain sebagainya mengakibatkan proyek tidak bisa dirampungkan sesuai target.

Awalnya proyek ini akan dimulai pengerjaannya pada bulan Agustus 2016, namun hingga September 2017 dari lahan seluas 600 hektar yang akan digunakan untuk membangun jalur KA sepanjang 150 km itu, hanya 55% yang berhasil dibebaskan.

Selain masalah pembebasan lahan, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga mengemukakan masalah lain pada proyek KA cepat ini, awalnya China Development Bank berjanji akan memodali 75% proyek tersebut, namun dana tersebut tidak pernah tersedia. Tahun lalu pemerintah Indonesia menyatakan, sampai tahun 2019 pun proyek KA cepat ini tidak akan selesai, dan harus ditunda hingga tahun 2020.

Kantor berita CNA (Central News Agency) di Juli 2018 lalu memberitakan, bagi mayoritas warga Indonesia seperti seorang pengemudi ojek Jakarta bernama Hamid selalu mempertanyakan satu hal, “Kapan akan rampung?” Hamid mengatakan, “Sampai saat ini, sama sekali tidak ada perkembangan proyek KA cepat ini, juga tidak terlihat sedikit pun pembangunan proyek ini, sebaliknya proyek MRT Jakarta telah ada perkembangan. Saya tahu proyek KA cepat adalah proyek kerjasama Indonesia dengan Tiongkok, namun rincian tentang detail sistem yang ditempuh, saya tidak tahu menahu.”

Lembaga pemikir Singapura ISEAS-Yusof Ishak Institute dalam laporannya menyebutkan, sejak awal proyek KA cepat Jakarta telah menghadapi banyak permasalahan, termasuk sulit diprediksinya keuntungan, kurangnya peninjauan dampak terhadap lingkungan, tidak sejalannya pengelolaan ruang dan lahan, model bisnis yang tidak jelas, serta tidak transparannya proses tender dan lain sebagainya.

KA cepat Jakarta awalnya ditenderkan kepada pihak Tiongkok dan Jepang, yang akhirnya dimenangkan oleh Tiongkok yang waktu itu sempat menuai banyak kritik terhadap keputusan pemerintah tersebut.

Banyak Negara Asia Mulai Tinjau Ulang Atau Kurangi Investasi dari Tiongkok

Dewasa ini, sudah banyak negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, seperti Malaysia, Myanmar, Thailand dan Maladewa telah mulai meninjau ulang proyek investasi Tiongkok.

PM Malaysia Mahathir Mohamad begitu menjabat langsung menjanjikan mengulas kembali proyek investasi Tiongkok.

Mahathir mengumumkan dibatalkannya proyek Kereta Api cepat dari Malaysia ke Singapura yang tengah dalam persiapan untuk konstruksi, dan melakukan perundingan ulang dengan pihak Beijing terkait Kereta Api pesisir timur Malaysia. Dana untuk kedua proyek ini berasal dari program super besar Tiongkok.

Terhadap proyek KA pesisir timur ini Mahathir menyatakan, “Kami sedang melakukan perundingan ulang dengan pihak Tiongkok, klausul di dalam perjanjian tersebut sangat merugikan perekonomian negara kami. Kami meminjam uang dari Tiongkok untuk membiayai proyek itu, lalu biaya pembangunan proyek itu tidak mengalir masuk ke dalam kas Malaysia, melainkan untuk menopang perusahaan Tiongkok, ini adalah suatu perjanjian yang sangat aneh.”

Negara Myanmar telah meninjau ulang nilai tender proyek pelabuhan yang diikuti oleh modal Tiongkok. Pemerintah Myanmar berkaca pada Srilanka yang menyetujui pihak Tiongkok menyewa pelabuhan strategisnya itu agar dapat melunasi kredit pada pemodal Tiongkok, memangkas keterlibatan pemodal Tiongkok dalam proyek pengembangan Pelabuhan Kyaukpyu tersebut, biaya untuk proyek yang awalnya USD 7,3 miliar menyusut hingga hanya USD 1,3 milyar saja.

Partai oposisi Thailand menyatakan, jika dalam bulan ini ada kontroversi, maka setelah meraih kekuasaan pasca pemilu, akan dilakukan audit terhadap investasi Tiongkok.

Presiden terpilih Maladewa yakni Ibrahim Mohamed Solih menjabat sejak tanggal 17 November tahun lalu. Solih meminta bantuan India dan Amerika, untuk melepaskan diri dari “diplomatik hutang Komunis Tiongkok” yang dilakukan oleh presiden terdahulu. (SUD/WHS/asr)

Video Rekomendasi :