Amerika Kembali ke Tarif Semula Setelah Tiongkok Gagal dengan Korea Utara

Korea Utara adalah alasan utama di balik keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan tarif-tarif yang telah diusulkan untuk Tiongkok, menurut para ahli urusan Tiongkok.

Pernyataan bersama antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dirilis pada 19 Mei yang membuat percekcokan perdagangan antar kedua negara tertahan. Sepuluh hari kemudian, bagaimanapun, Gedung Putih berbalik arah dan mengumumkan bahwa Amerika Serikat, akan, bagaimanapun, maju dengan memberlakukan 25 persen bea atas barang-barang teknologi impor Tiongkok senilai $50 miliar.

“Mulai sekarang, kita mengharapkan hubungan perdagangan menjadi adil dan menjadi timbal balik,” kata Presiden Donald Trump dalam sebuah pernyataan pada 29 Mei.

Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Sanders, berbicara pada pertemuan pers harian pada 30 Mei, menekankan kembali sikap Trump. Dia berkata, “Apa yang menjadi perhatian Presiden adalah memastikan dia menghentikan praktik-praktik perdagangan tidak adil yang telah dilakukan Tiongkok selama beberapa dekade,” termasuk praktik pencurian kekayaan intelektual, kata Sanders.

Frank Xie Tian, ​​seorang profesor bisnis di University of South Carolina-Aiken, menjelaskan perubahan balik arah yang mendadak tersebut karena “peningkatan pembelian barang dan jasa AS secara signifikan,” itu saja, seperti yang ditulis dalam pernyataan bersama, tidak dapat secara fundamental mengurangi defisit perdagangan AS dengan Tiongkok, dalam wawancara dengan The Epoch Times.

“Amerika menginginkan perubahan struktural [dari Tiongkok],” kata Xie, menjelaskan bahwa “penyebab mendasar di balik ketidakseimbangan perdagangan tersebut, campur tangan pemerintah [di pasar], subsidi, rabat pajak ekspor, manipulasi mata uang, semua ini [praktik oleh Tiongkok] harus diubah.”

Alasan lain adalah peran yang dimainkan Tiongkok dalam negosiasi yang sedang berlangsung dengan Korea Utara mengenai denuklirisasi, kata Xie. Dia menjelaskan bahwa Korea Utara memperkuat retorikanya dua kali setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengunjungi Beijing, pertama di bulan Maret, kemudian untuk kedua kalinya pada awal Mei. Kim mengancam akan membatalkan KTT dengan Trump, sementara pejabat senior Korea Utara Choe Son Hui mengusulkan “pertarungan nuklir-ke-nuklir.”

Profesor Xie menjelaskan, “Saya pikir Gedung Putih marah tentang bagaimana Tiongkok telah ikut campur dalam masalah nuklir Korea Utara.”

Wen Zhao, seorang komentator politik yang berbasis di Kanada bersama NTD, penyiaran televisi yang berbasis di New York, menjelaskan hubungan antara perdagangan dengan masalah Korea Utara pada The Epoch Times: meskipun Tiongkok tidak berjanji untuk mengurangi surplus perdagangan dengan jumlah tertentu dalam pernyataan bersama, Trump setuju untuk kompromi dalam upaya untuk mendapatkan Tiongkok pada ketetapan yang sama mengenai Korea Utara. Namun karena Trump baru-baru ini telah membuat Korea Utara kembali ke meja perundingan melalui caranya sendiri [termasuk surat yang ditulis dengan kuat kepada Kim], Trump tidak lagi perlu mematuhi kompromi perdagangan yang mungkin tidak dia sukai sejak awal tersebut.

Tiongkok dapat melihat tekanan tambahan dari Amerika Serikat karena perundingan denuklirisasi terus berlanjut. Menurut laporan 22 Mei oleh blog berita, The Washington Reporter, sebuah rencana sedang dirumuskan oleh Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton, Departemen Keuangan, CIA (Central Intelligence Agency), dan Departemen Luar Negeri untuk memberikan sanksi kepada 13 eksekutif bank Tiongkok karena mereka telah melanjutkan bisnis mereka dengan Korea Utara, melanggar perjanjian sanksi PBB. Sanksi AS akan membekukan aset mereka dan memberlakukan larangan perjalanan, menurut laporan tersebut.

Departemen Keuangan AS tidak menanggapi pertanyaan tentang nama-nama dan bank-bank tersebut saat pertemuan pers.

Tiga eksekutif dari China Construction Bank, salah satu dari empat bank besar yang dikelola negara di Tiongkok dengan total aset 12,28 triliun yuan (sekitar $1,9 triliun) pada tahun 2011; tiga eksekutif dari Agricultural Bank of China, bank yang dikelola negara dengan total aset 13,24 triliun (sekitar $2 triliun); dan tiga eksekutif dari Postal Savings Bank of China, bank ritel komersial dengan total aset 8,28 triliun yuan (sekitar $1,3 triliun) pada tahun 2016, berada di antara target yang diidentifikasi, menurut Washington Reporter.

Profesor Xie percaya bahwa pada akhirnya, Tiongkok akan menyerah pada tuntutan perdagangan AS, mengingat bagaimana Amerika Serikat dapat menemukan pengganti produk-produk Tiongkok dari negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Malaysia.

Di sisi lain, “untuk rezim Tiongkok, kehilangan pasar Amerika akan menjadi pukulan ekonomi yang menghancurkan,” kata Xie. Amerika Serikat adalah pembeli barang Tiongkok terbesar, jadi Tiongkok lebih suka bernegosiasi bagaimana menurunkan surplus perdagangan dan mendapatkan lebih sedikit, daripada tidak melakukan bisnis sama sekali, jelasnya. (ran)

ErabaruNews