Kebijakan Tiongkok Agar Pasangan Memiliki Anak Kedua Dikritik

Setelah hampir empat dekade kebijakan satu-anak yang dipaksakan oleh pemerintah yang telah menyebabkan ketidakseimbangan gender yang parah dan tingkat kelahiran yang rendah, rezim Tiongkok memutuskan menghapus kebijakan tersebut pada tahun 2015 dan mendorong pasangan untuk memiliki dua anak. Itu adalah upaya mengatasi penurunan populasi yang mengancam pembangunan negara tersebut.

Hampir tiga tahun kemudian, dan masih menghadapi tingkat kelahiran yang menurun, otoritas Tiongkok sibuk mengeluarkan mandat untuk mendorong orang-orang memiliki lebih banyak anak.

Di Provinsi Liaoning Tiongkok bagian utara, pemerintah provinsi tersebut baru-baru ini meluncurkan kebijakan sosial seperti memperkenalkan tunjangan cuti melahirkan dan paternitas yang lebih baik, mendorong para pengusaha untuk menyediakan jam kerja yang fleksibel bagi wanita sebelum dan sesudah kehamilan, dan memberlakukan pajak, pendidikan, dan kebijakan-kebijakan perumahan yang menguntungkan keluarga yang memiliki lebih dari satu anak, menurut laporan 18 Juli oleh koran The Paper yang dikelola pemerintah.

Pemerintah lokal di Shihezi, sebuah kota di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat laut, baru-baru ini mengeluarkan lima kebijakan untuk mendorong lebih banyak pasangan untuk memiliki anak kedua, menurut The Paper. Itu termasuk 14 minggu cuti melahirkan berbayar, di mana majikan harus membayar 80 persen dari gaji wanita. Wanita juga tidak akan didiskriminasi, ketika mendapat promosi dan kenaikan gaji, selama mengambil cuti hamil.

Menurut The Paper, Kota Tianjin di Tiongkok utara, serta kota Yichang dan Xintao di Propinsi Hubei Tiongkok tengah, telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan serupa sejak tahun 2017.

Tetapi bagi para warga Tiongkok, desakan dalam memperkenalkan kebijakan tersebut mungkin terlalu kecil, dan terlambat. Di Sina Weibo, platform mikroblogging mirip Twitter di Tiongkok, banyak netizen mengungkapkan kemarahan terhadap rezim terkait masalah ini.

“Bisakah [otoritas Tiongkok] sekarang secara terbuka mengakui bahwa kebijakan satu-anak itu jahat?” tanya seorang netizen dari Hubei.

“Dapatkah [rezim] mengembalikan uang yang dibutuhkan untuk mendenda orang [karena melanggar kebijakan satu anak]?” tanya seorang netizen dengan nama pengguna “CLQY” dari Provinsi Jiangsu di pesisir Tiongkok. Keluarga dengan lebih dari satu anak sering didenda berat jika mereka tertangkap oleh pihak berwenang.

“Jadi, Anda mempromosikan vasektomi ketika ada ‘keluarga berencana.’ Tetapi ketika masyarakat dibutuhkan lebih banyak orang, Anda mengizinkan dua anak. Apakah Anda menjadikan warga sebagai semacam mesin reproduksi?” tanya seorang netizen dengan nama pengguna “Zhong Xiaoshu” dari Liaoning.

Rejim Tiongkok ketika menerapkan kebijakan satu anak dengan secara paksa melakukan praktik-praktik pengendalian kelahiran seperti pemasangan IUD, ligasi tuba, dan vasektomi. Pihak berwenang juga secara paksa melakukan aborsi, bahkan ketika wanita itu berada di tahap akhir kehamilan.

Kebijakan satu-anak Tiongkok selama satu dekade telah menciptakan segudang masalah sosial. Pertama, rasio jenis kelamin Tiongkok berada pada 115,4 pria berbanding 100 wanita per November 2017, menyisakan lebih dari 1 juta bujangan yang kemungkinan akan tetap melajang selama sisa hidup mereka. Kedua, angkatan kerja menyusut sementara populasi orang yang berusia di atas 60 tahun telah meledak. Ketiga, jaring pengaman sosial Tiongkok untuk orang tua berantakan karena banyak anak di negara tersebut yang harus menanggung beban menyediakan kebutuhan hidup bagi orang tua dan kakek-nenek mereka.

Hanya beberapa hari sebelum pemerintah Liaoning mengeluarkan kebijakan mendorong kelahiran, pihaknya mengumumkan rencana bagi para lansia untuk terus bekerja sehingga mereka dapat membantu meminimalkan beban keuangan dari angkatan kerja yang telah berkurang tersebut, menurut laporan 11 Juli oleh Radio Free Asia.

Kebijakan tersebut menyerukan “secara efektif mengeksplorasi dan mengembangkan database sumber daya manusia lansia” dan “secara bertahap menerapkan kebijakan penangguhan pensiun.” Selain itu, ia menyerukan program pendidikan untuk lansia, sehingga mereka dapat membuka usaha mereka sendiri dan berkontribusi ekonomi di masa pensiun terakhir. (ran)

ErabaruNews