Alumni Universitas Tsinghua Menolak Penelitian Profesor yang Menyesatkan

Alumni dari salah satu universitas ternama di Tiongkok sangat kecewa dengan pernyataan-pernyataan dari seorang profesor bahwa mereka sedang menyerukan untuk pemecatannya.

Apa yang telah dilakukan profesor yang tersinggung itu? Membesar-besarkan tentang kehebatan Tiongkok.

Pada 1 Agustus, surat yang ditandatangani oleh 27 alumni Tsinghua University mulai beredar di internet, dimana mereka mendesak presiden universitas tersebut untuk memecat dekan Institut Studi Tiongkok Kontemporer Tsinghua, Hu Angang.

Para alumni tersebut telah mengklaim dalam surat bahwa Hu telah tidak bertanggung jawab dalam klaim-klaim penelitian akademisnya. Hal utama di antara keprihatinan mereka adalah laporan yang ditulis oleh Hu pada Juni 2017 yang menyimpulkan bahwa kekuatan komprehensif Tiongkok telah melampaui Amerika Serikat.

“Ini akan menyesatkan pembuatan kebijakan nasional dan membingungkan warga biasa. Ia menumbuhkan terlalu banyak kewaspadaan dari negara-negara lain dan memicu rasa takut dalam tetangga-tetangga kita,” tulis surat tersebut.

protes alumni universitas tsinghua cina tiongkok
Alumni dari salah satu universitas ternama di Tiongkok sangat kecewa dengan pernyataan-pernyataan dari seorang profesor bahwa mereka sedang menyerukan untuk pemecatannya.

Menjelang sore hari 2 Agustus, lebih banyak alumni Tsinghua telah menambahkan nama mereka pada surat itu, yang jumlahnya hampir mencapai 1.000.

Sentimen alumni tersebut mencerminkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Tiongkok: kesombongan semacam itu membuka pikiran dan memperingatkan Amerika Serikat akan ambisi-ambisi Tiongkok.

Celah-celah di Dalam Penelitian

Menurut analisis Hu, kehebatan ekonomi Tiongkok telah melampaui kemampuan Amerika Serikat pada tahun 2013, sementara inovasi-inovasi Tiongkok dalam sains dan teknologi melampaui Amerika Serikat pada tahun 2015.

Dia juga beralasan bahwa mengingat kekuatan militer suatu negara bergantung pada ukuran pasukan militer dan anggaran militernya, Tiongkok memiliki keduanya tersebut dan dapat dianggap sebagai yang paling berkuasa di dunia.

Lembaga think tank independen di luar Tiongkok berpikir sebaliknya. Lowy Institute yang berbasis di Australia menerbitkan Indeks Kekuatan Asia tahun ini yang memeringkat pemain paling penting di kawasan itu. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dalam kekuatan keseluruhan, diikuti oleh Tiongkok.

Menurut analisis Lowy Institute, meskipun GDP Tiongkok (Produk Domestik Bruto) lebih besar dari Amerika Serikat, sekitar $21,8 triliun dibandingkan dengan $18,6 triliun, karena yang terakhir memiliki lebih banyak pengaruh internasional dan lebih maju dalam teknologi, sumber dari “sumber daya ekonominya” jauh lebih besar dari Tiongkok: 100 dibandingkan 64.

Sementara itu, dalam kemampuan militer, Lowy menempatkan Amerika Serikat lebih dulu karena pengeluaran pertahanan tahunannya yang lebih tinggi ($641 miliar dibandingkan dengan Tiongkok $215 miliar); stok senjata yang lebih tinggi; dan lebih banyak lagi “kemampuan-kemampuan khusus” seperti kecerdasan, cyber, dan kemampuan nuklir.

Dalam surat tersebut, para alumni mengkritik penelitian Hu yang salah sebagai pemborosan dolar para pembayar pajak yang “merusak reputasi almamater mereka.”

Netizen sepertinya setuju. “Jika Anda menempatkan pembohongan Global Times dan pembohongan Hu dari Tsinghua bersama-sama, siapa yang akan menang?” Seorang netizen berkomentar, mengacu pada koran yang dikelola negara militan yang dikenal dengan nada nasionalistiknya yang agresif tersebut.

Implikasi Perang Perdagangan?

Beberapa netizen mempertanyakan apakah pandangan-pandangan nasionalis yang terang-terangan seperti Hu itulah yang telah mendorong Amerika Serikat untuk waspada tentang strategi nasional Tiongkok di prioritas pertama, yang mengarah ke perang perdagangan akhir-akhir ini.

Dalam menerapkan tarif hukuman atas barang-barang Tiongkok, pemerintah AS telah menunjuk pada kebijakan ekonomi “Made in China 2025” milik Tiongkok, rencana besar bagi Tiongkok untuk menggantikan para pesaing global di 10 sektor teknologi utama, sebagai bukti investasi-investasi asing yang diarahkan oleh negara di dalam melayani kepentingan-kepentingan nasional Tiongkok.

Beijing sejak itu memerintahkan media negaranya untuk meredam penyebutan “Made in China 2025,” dengan beberapa sumber diplomat yang mengatakan kepada Reuters bahwa pejabat-pejabat senior percaya itu adalah kesalahan bagi pemerintah untuk mendorong rencana tersebut dengan paksa dan terbuka karena itu telah meningkatkan tekanan pada Tiongkok.

Beberapa pengamat percaya bahwa surat tersebut sebenarnya ditujukan pada kepemimpinan Partai.

Dalam sebuah laporan oleh surat kabar Hong Kong Apple Daily, jurnalis independen Beijing Gao Yu mengatakan, “setiap orang dalam surat ini mengalamatkan kepada otoritas-otoritas pusat, karena otoritas mereka yang mengatur segalanya.”

Takut Mengatakan Kebenaran

Kebodohan profesor Tsinghua ini mungkin juga merupakan gejala masalah yang lebih besar: lembaga penelitian dan lembaga think tank di Tiongkok tidak benar-benar independen dan utamanya melayani untuk menyenangkan kepemimpinan tersebut. Sebagian besar lembaga think tank berafiliasi atau diawasi langsung oleh otoritas pusat atau lokal.

Mereka yang berani menawarkan kritik terhadap kepemimpinan Tiongkok sering dihukum.

Pada pertengahan Juli, staf di lembaga think tank yang berpikiran liberal, Unirule Institute of Economics, disingkirkan dari kantor mereka dalam upaya nyata oleh pemerintah Tiongkok untuk membungkam mereka.

Unirule sebelumnya telah menerbitkan laporan tentang perusahaan milik negara, menyimpulkan bahwa meskipun mendapat dukungan keuangan dari pemerintah pusat, banyak yang terus beroperasi dalam kerugian.

Pada satu titik, think tank tersebut juga kehilangan izin operasinya setelah seorang anggota staf menerbitkan artikel yang mendorong privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara. (ran)

ErabaruNews