Tiongkok Kehabisan Opsi Dalam Sengketa Perdagangan, Korbankan LNG

ANALISIS BERITA

Ketika Amerika Serikat dan Tiongkok menaikkan taruhan dalam perselisihan perdagangan yang sedang berlangsung, sejauh ini efek pada ekonomi Tiongkok dan pasar keuangan jauh lebih jelas daripada di Amerika Serikat.

Tiongkok mengatakan pada 3 Agustus bahwa akan memberlakukan tarif-tarif baru senilai $60 miliar impor AS setelah Presiden Donald Trump mengancam akan meningkatkan tarif-tarif impor Tiongkok pada awal pekan ini.

Tarif-tarif baru tersebut akan ditempatkan pada pesawat buatan AS dan gas alam cair (LNG), sebuah bahan bakar fosil penting yang Tiongkok telah mencoba untuk menjauhkan dari daftar sasaran selama mungkin, sebagai pembalasan atas usulan terbaru Trump untuk meningkatkan tingkat ancaman tarif hingga 25 persen dari 10 persen.

Menanggulangi tekanan di Tiongkok tidak sepenuhnya tidak diantipasi, karena Trump awal bulan ini mereda dalam pertempuran dagangnya dengan Eropa untuk menggandakan upaya-upaya Tiongkok-nya.

“Apa yang tidak disukai adalah perang tarif terhadap dunia. Pemerintah menyadari itu dan memindahkan gigi,” kata Dennis Wilder, penasihat Tiongkok untuk mantan Presiden George W. Bush, mengatakan kepada Financial Times pada 3 Agustus.

Mengubah tekanan di Beijing mungkin merupakan satu-satunya cara untuk memaksa ekonomi No. 2 di dunia tersebut untuk mengubah kebijakannya tentang subsidi yang tidak adil dan pencurian teknologi yang disponsori negara. Dan pelanggaran-pelanggaran Tiongkok yang sudah berjalan lama di bidang perdagangan lebih mendesak daripada praktik-praktik yang dianggap tidak adil yang berasal dari Kanada, Meksiko, atau Eropa.

Sebuah Pertaruhan Gas Alam

Di atas kertas, ancaman Tiongkok untuk mengurangi impor-impor LNG (gas alam cair) dari Amerika Serikat dapat merugikan industri energi AS, dan, kemungkinan, pendukung bisnis Trump di daerah-daerah utama.

Beberapa perusahaan memiliki rencana untuk meningkatkan investasi dalam produksi dan ekspor LNG, khususnya di negara-negara bagian selatan seperti Texas dan Louisiana. Cheniere Energy mengumumkan pada 22 Mei bahwa mereka akan membangun pabrik ketiga, di samping dua proyek yang sedang dibangun di Texas. Ini untuk mengantisipasi kesepakatan ekspor LNG 25-tahun yang ditandatangani pada bulan Februari dengan perusahaan milik negara China National Petroleum.

Tiongkok adalah importir LNG terbesar kedua dunia dan tujuan ketiga terbesar untuk ekspor LNG AS. Gangguan jangka panjang apa pun dalam ekspor LNG AS, secara teoritis, dapat memiliki konsekuensi negatif bagi Trump dan prospek-prospek pemilihan paruh waktu Partai Republik tersebut.

Tetapi juga berpengaruh pada konsumen-konsumen Tiongkok. LNG adalah bahan bakar alternatif pilihan Beijing untuk menggantikan kecanduan batubara negara tersebut.

“Gas Amerika tidak datang dengan label ‘Made in America’ pada molekul-molekulnya,” kata Charif Souki, co-founder Tellurian Inc., yang mengembangkan terminal LNG Driftwood di Louisiana, kepada S & P Platts. “Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan tetapi hanya akan membuat gas lebih mahal bagi konsumen Tiongkok.”

Anehnya, sekitar waktu yang sama dengan pengumuman kemungkinan peningkatan tarif tersebut, Tiongkok mengatakan bahwa mereka sedang mengembangkan kapasitas lebih untuk melakukan impor LNG yang lebih tinggi. Kementerian Perhubungan berencana membangun 11 terminal LNG baru di Tiongkok utara untuk meningkatkan kapasitas dalam menangani impor LNG di masa depan, menurut Caixin Global, sebuah majalah bisnis yang berbasis di Beijing.

Trump sangat menyadari hal ini. Amerika Serikat menerapkan pertaruhan yang sudah diperhitungkan dengan harapan menyelesaikan sengketa perdagangan jauh sebelum pemilihan. Bahkan, keputusan Tiongkok untuk kemungkinan meningkatkan pajak impor LNG, sumber daya penting yang strategis bagi Tiongkok, adalah sinyal bahwa Beijing kehabisan pilihan dan bergerak perlahan mendekat untuk menyerah dalam pertarungan.

Tekanan meningkat di Tiongkok. Pasar sahamnya telah menjadi salah satu pasar utama dengan kinerja terburuk di dunia pada 2018. Indeks gabungan Shanghai turun 1 persen pada 3 Agustus, periode penurunan ketiga berturut-turut. Selama enam bulan terakhir, indeks telah turun 21,4 persen.

“Pasar saham Tiongkok telah membuat orang-orang kehilangan banyak uang selama beberapa tahun terakhir, dan investor telah kehilangan kepercayaan mereka,” Kingston Lin King-ham, broker sekuritas berbasis di Hong Kong AMTD, mengatakan pada 3 Agustus South China Morning Post melaporkan.

Satu hari sebelumnya, Tiongkok kehilangan peringkatnya sebagai pasar saham terbesar kedua di dunia. Menurut Bloomberg, nilai total ekuitas Tiongkok adalah gabungan $6,09 triliun, bergerak mundur dari nilai $6,17 triliun dari saham-saham Jepang.

Ini adalah pertama kalinya Tiongkok tergelincir di bawah No. 2 dunia sejak melampaui Jepang pada tahun 2014. “Kehilangan peringkat terhadap Jepang adalah kerusakan yang disebabkan oleh perang dagang tersebut,” kepala riset CEB International Banny Lam mengatakan kepada Bloomberg pada 2 Agustus.

Politbiro dan Bank Sentral Melangkah Masuk

Perekonomian Tiongkok yang sempat booming telah terguncang tahun ini karena pengaruh dari banyak faktor; Perang dagang yang sedang berlangsung hanya menambah bahan bakar ke api. Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) Caixin Markit Tiongkok telah jatuh ke 50,8 pada bulan Juli, level terendah dalam delapan bulan. Pembacaan PMI resmi Tiongkok juga jatuh pada bulan Juli.

Pertumbuhan di sektor jasa Tiongkok juga melambat, karena PMI Caixin-Markit di sektor ini jatuh ke 52,8 pada bulan Juli, terendah dalam empat bulan.

Pada 31 Juli, Politburo Tiongkok, komite pemerintahan Partai Komunis, memberi isyarat bahwa perang tarif berdampak negatif pada prospek pertumbuhan ekonominya.

“Pertemuan ekonomi Politbiro triwulanan hari ini menyoroti tantangan eksternal yang meningkat dan berjanji untuk memenuhi target-target ekonomi 2018,” kata ekonom Morgan Stanley, Robin Xing dalam sebuah catatan kepada klien pada 31 Juli.

“Ia berencana untuk menerapkan kebijakan moneter yang hati-hati, sambil mempertahankan kebijakan fiskal proaktif untuk mendukung permintaan domestik (terutama belanja modal infrastruktur).”

Yuan telah jatuh bebas karena perang perdagangan telah meningkat. Minggu lalu menandai minggu kedelapan berturut-turut bahwa mata uang terdepresiasi terhadap dolar AS.

People’s Bank of China merilis sebuah pernyataan pada 3 Agustus bahwa ia akan meningkatkan persyaratan rasio cadangan cadangan bank dari nol menjadi 20 persen pada valuta asing (valas) ke depan yang mereka jalankan untuk klien. Aturan ini membuatnya menjadi taruhan yang lebih mahal terhadap yuan dan menukarkan yuan ke mata uang asing.

Bank sentral tersebut pertama kali memberlakukan cadangan risiko pada valas pada akhir 2015, juga dalam upaya untuk menghentikan depresiasi yuan, tetapi telah menghapus persyaratan tersebut pada bulan September 2017. (ran)

ErabaruNews